Kendati para
ahli hukum belum sepakat mengenai definisi ilmu hukum, akan tetapi dari
berbagai pendapat yang pernah dikemukakan, dapat disimpulkan bahwa hukum
mempunyai empat unsur, yakni :
1. di
dalamnya termuat aturan atau ketentuan
2. bentuknya
dapat tertulis dan tidak tertulis
3. aturan
atau ketentuan tersebut mengatur kehidupan masyarakat, dan
4. tersedia
sanksi bagi para pelanggarnya
Jika keempat
unsur tersebut dirangkai, maka hukum dapat didefinisikan sebagai "semua
peraturan maupun ketentuan tertulis maupun tidak tertulis yang mempunyai materi
mengatur kepentingan masyarakat, dan apabila terjadi pelanggaran, maka sanksi
hukum akan dikenakan pada si pelanggar".
Tujuan hukum
adalah sesuatu yang ingin dicapai oleh hukum, yakni keadilan dan kepastian
hukum (perlindungan hukum). Tujuan mempertahankan ketertiban masyarakat dicapai
dengan cara melindungi kepentingan- kepentingan yang ada dalam masyarakat
secara seimbang. Implementasi tujuan hukum tersebut dapat dilaksanakan dalam
suatu negara berdasarkan atas hukum. Untuk mencapai tujuannya, hukum haruslah
ditegakkan.
Dalam hal
ini hukum diasumsikan sebagai hukum yang baik (walau faktanya ada juga hukum
yang tidak baik). Jika kita membicarakan penegakan hukum, maka itu berarti
harus membahas sistem hukum.
SISTEM HUKUM
Pengertian
Sistem Hukum Sistem Hukum berasal dari dua kata yaitu „sistem‟ dan „hukum‟.
Yang keduanya dapat berdiri sendiri dan memiliki arti tersendiri. Sistem
berasal dari bahasa Latin systema dan bahasa Yunani systema pula, sistem dapat
berarti sebagai keseluruhan atau kombinasi keseluruhan. Sedangkan hukum tidak
dapat diartikan secara pasti seperti halnya ilmu eksak, karena dalam ilmu
hukum, hukum itu sangat kompleks dan
terdapat berbagai sudut pandang serta berbeda-beda pula masalah yang akan
dikaji. Sehingga, setiap ahli memberikan pengertian-pengertian yang berbeda
mengenai pengertian hukum sendiri. Berikut diantaranya : Hukum adalah semua
aturan yang mengandung pertimbangan kesusilaan, ditujukan kepada tingkah laku
manusia dalam masyarakat, dan menjadi pedoman bagi penguasa negara dalam
melaksanakan tugasnya.
·
( Prof. Mr. E.M. Meyers) Hukum adalah himpunan peraturan
( perintah dan larangan ) yang mengurus tata tertib suatu masyarakat dan karena
itu harus ditaati oleh masyarakat itu.
·
( Drs. E. Utrecht, S.H) Hukum merupakan kumpulan
peraturan yang terdiri dari norma dan sanksi, dengan tujuan mewujudkan ketertiban
dalam pergaulan manusia.
·
(S.M. Amin, S.H) Hukum adalah peratuan-peraturan yang
bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan
masyarakat, yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib, dan yang
pelanggaran terhadapnya mengakibatkan diambilnya tindakan, yaitu hukuman
terentu.
·
( J.C.T. Simorangkir, S.H. dan Woerjono Sastropranoto,
S.H) Dari berbagai pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa hukum merupakan
peraturan yang bersifat memaksa dan mengikat seseorang agar tercipta kehidupan
yang serasi dan selaras dengan norma yang berlaku di masyarakat. Sehingga,
sistem hukum dapat diartikan sebagai sekumpulan peraturan yang bersifat memaksa
demi terciptanya kehidupan yang serasi dan selaras dengan norma.
Bangsa
Indonesia Menggunakan Sistem Hukum Campuran yaitu Bangsa Indonesia menggunakan
sistem hukum campuran antara Eropa Kontinental, Hukum Adat, Hukum Agama
khususnya Hukum Syariah Islam, serta tidak mengesampingkan sistem hukum
Anglo-Saxon.
Saat pertama
mendengar istilah Hukum Eropa Kontinental yang ada dipikiran kita pasti adalah
negara-negara yang terletak di Benua Eropa. Namun, ternyata meski berada dalam
Benua Asia, Bangsa Indonesia juga menganut sistem hukum Eropa Kontinental
sebagai salah satu sistem hukumnya. Hal tersebut terjadi dikarenakan Bangsa
Indonesia mengalami penjajahan oleh Belanda selama 350 tahun yang tidak lain
Belanda merupakan salah satu pendukung utama sistem hukum Eropa Kontinental.
Dan selama
masa penjajahan tersebut Belanda menerapkan asas konkordansi, yang berarti
sistem hukum Hindia-Belanda (Indonesia) berjalan selaras dengan sistem hukum
Belanda. Sehingga, secara mutatis mutandis sistem hukum Eropa Kontinental telah
diterapkan kepada Bangsa Indonesia.
Walaupun dominan menggunakan sistem hukum
Eropa Kontinental, Belanda juga melaksanakan sistem hukum adat
(adatrechtpolitiek) kepada masyarakat golongan pribumi asli. Sehingga, pada
masa penjajahan Belanda di Indonesia terjadi pluralisme hukum. Yang dalam
perkembangannya lebih banyak ditinggalkan karena pengaruh hukum kolonial yang
cenderung kuat. Setelah kemerdekaan, pengaruh Sistem Eropah Kontinental tampak
dalam semangat untuk melakukan kodifikasi dan unifikasi. Meskipun Hukum Adat
tetap diakui, tetapi pandangan yang lebih mengemuka adalah dalam pembangunan
hukum maupun optimalisasi fungsi hukum sebagai sarana untuk melakukan rekayasa
sosial dilakukan melalui peraturan perundangundangan.
Pembangunan
Sistem Hukum Indonesia Menurut Lawrence M.Friedman Sistem hukum di Indonesia
dewasa ini adalah sistem hukum yang unik, sistem hukum yang dibangun dari
proses penemuan, pengembangan, adaptasi, bahkan kompromi dari beberapa sistem
yang telah ada.
Sistem hukum
Indonesia tidak hanya mengedepankan ciri-ciri lokal, tetapi juga mengakomodasi
prinsip-prinsip umum yang dianut oleh masyarakat internasional. Namun, pada
masa-masa seperti sekarang ini banyak kalangan yang memberikan penilaian yang
kurang baik terhadap sistem hukum Indonesia.
Bobroknya
sistem hukum di Indonesia, diibaratkan orang sakit akibat merokok. Jika
dianalogikan, orang sakit karena merokok justru tidak pernah mau mengakui jika
sakitnya karena rokok. “Kalau perokok, datang ke dokter, akan selalu bilang,
saya sakit. Tapi pasti tidak mau mengaku karena rokok, karena ingin tetap
merokok,” kata Guru Besar Luar Biasa UI, Mardjono Reksodiputra dalam diskusi
hukum di kantor Komisi Hukum Nasional (KHN), Jalan Diponegoro 64, Menteng,
Jakarta Pusat, Senin, (7/5/2010). Analogi tersebut sebagai perumpamaan kepada
institusi polisi, jaksa dan hakim yang tidak pernah mengakui institusinya
salah. Setiap kali ada kasus, mereka selalu menunjuk itu ulah oknum. “Harusnya
mereka mengakui supaya tidak mengulangi. Jangan seperti perokok yang tidak mau
mengaku merokok,” (detiknews, 2010)
Untuk
mengetahui lebih mendalam lagi, kita perlu mempelajari apa yang menjadi unsur-unsur
pokok sistem hukum itu. Para ahli memiliki pendapat sendiri-sendiri mengenai
sistem hukum. Namun, pada kesempatan kali ini kita akan lebih terfokus pada
sistem hukum menurut Lawrence M.Friedman.
TEORI SISTEM
HUKUM FRIEDMAN
Teori Sistem
Hukum Menurut Lawrence Meir Friedman, seorang ahli sosiologi hukum dari
Stanford University, ada empat elemen utama dari sistem hukum (legal system),
yaitu:
1. Struktur
Hukum (Legal Structure)
2. Isi Hukum
(Legal Substance)
3. Budaya Hukum
(Legal Culture)
4. Dampak Hukum
(Legal Impact)
Menurut
Lawrence Meir Friedman berhasil atau tidaknya Penegakan hukum bergantung pada:
Substansi Hukum, Struktur Hukum/Pranata Hukum dan Budaya Hukum.
Pertama:
Substansi Hukum: Dalam teori Lawrence Meir Friedman hal ini disebut sebagai
sistem substansial yang menentukan bisa atau tidaknya hukum itu dilaksanakan.
Substansi juga berarti produk yang dihasilkan oleh orang yang berada dalam
sistem hukum yang mencakup keputusan yang mereka keluarkan, aturan baru yang
mereka susun.
Substansi
juga mencakup hukum yang hidup (living law), bukan hanya aturan yang ada dalam
kitab undang-undang (law books). Sebagai negara yang masih menganut sistem
Civil Law Sistem atau sistem Eropa Kontinental (meski sebagaian peraturan
perundang-undangan juga telah menganut Common Law Sistem atau Anglo Sexon)
dikatakan hukum adalah peraturan-peraturan yang tertulis sedangkan
peraturan-peraturan yang tidak tertulis bukan dinyatakan hukum. Sistem ini
mempengaruhi sistem hukum di Indonesia. Salah satu pengaruhnya adalah adanya
asas Legalitas dalam KUHP. Dalam Pasal 1 KUHP ditentukan “tidak ada suatu
perbuatan pidana yang dapat di hukum jika tidak ada aturan yang mengaturnya”.
Sehingga bisa atau tidaknya suatu perbuatan dikenakan sanksi hukum apabila perbuatan
tersebut telah mendapatkan pengaturannya dalam peraturan perundang-undangan.
Teori
Lawrence Meir Friedman yang Kedua : Struktur Hukum/Pranata Hukum: Dalam teori
Lawrence Meir Friedman hal ini disebut sebagai sistem Struktural yang
menentukan bisa atau tidaknya hukum itu dilaksanakan dengan baik. Struktur
hukum berdasarkan UU No. 8 Tahun 1981 meliputi; mulai dari Kepolisian,
Kejaksaan, Pengadilan dan Badan Pelaksana Pidana (Lapas). Kewenangan lembaga
penegak hukum dijamin oleh undang-undang. Sehingga dalam melaksanakan tugas dan
tanggung jawabnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan
pengaruh-pengaruh lain. Terdapat adagium yang menyatakan “fiat justitia et
pereat mundus”meskipun dunia ini runtuh hukum harus ditegakkan. Hukum tidak
dapat berjalan atau tegak bila tidak ada aparat penegak hukum yang
kredibilitas, kompeten dan independen. Seberapa bagusnya suatu peraturan
perundang-undangan bila tidak didukung dengan aparat penegak hukum yang baik
maka keadilan hanya angan-angan. Lemahnya mentalitas aparat penegak hukum
mengakibatkan penegakkan hukum tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Banyak
faktor yang mempengaruhi lemahnya mentalitas aparat penegak hukum diantaranya
lemahnya pemahaman agama, ekonomi, proses rekruitmen yang tidak transparan dan
lain sebagainya. Sehingga dapat dipertegas bahwa faktor penegak hukum memainkan
peran penting dalam memfingsikan hukum. Kalau peraturan sudah baik, tetapi
kualitas penegak hukum rendah maka akan ada masalah. Demikian juga, apabila
peraturannya buruk sedangkan kualitas penegak hukum baik, kemungkinan munculnya
masalah masih terbuka.
Teori
Lawrence Meir Friedman yang Ketiga: Budaya Hukum: Kultur hukum menurut Lawrence
Meir Friedman (2001:8) adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistem
hukum-kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya. Kultur hukum adalah
suasana pemikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum
digunakan, dihindari, atau disalahgunakan. Budaya hukum erat kaitannya dengan
kesadaran hukum masyarakat. Semakin tinggi kesadaran hukum masyarakat maka akan
tercipta budaya hukum yang baik dan dapat merubah pola pikir masyarakat
mengenai hukum selama ini. Secara sederhana, tingkat kepatuhan masyarakat
terhadap hukum merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum. Hubungan antara
tiga unsur sistem hukum itu sendiri tak berdaya, seperti pekerjaan mekanik.
Struktur diibaratkan seperti mesin, substansi adalah apa yang dikerjakan dan
dihasilkan oleh mesin, sedangkan kultur hukum adalah apa saja atau siapa saja
yang memutuskan untuk menghidupkan dan mematikan mesin itu, serta memutuskan
bagaimana mesin itu digunakan.
Dikaitkan
dengan sistem hukum di Indonesia, Teori Friedman tersebut dapat kita jadikan
patokan dalam mengukur proses penegakan hukum di Indonesia. Polisi adalah
bagian dari struktur bersama dengan organ jaksa, hakim, advokat, dan lembaga
permasyarakatan. Interaksi antar komponen pengabdi hukum ini menentukan kokoh
nya struktur hukum. Walau demikian, tegaknya hukum tidak hanya ditentukan oleh
kokohnya struktur, tetapi juga terkait dengan kultur hukum di dalam masyarakat.
Namun demikian, hingga kini ketiga unsur sebagaimana yang dikatakan oleh
Friedman belum dapat terlaksana dengan baik, khususnya dalam struktur hukum dan
budaya hukum. Sebagai contoh, dalam struktur hukum, Anggota polisi yang
diharapkan menjadi penangkap narkoba, polisi sendiri ikut terlibat dalam
jaringan narkoba. Demikian halnya para jaksa, sampai saat ini masih sangat
sulit mencari jaksa yang benar-benar jujur dalam menyelesaikan perkara. Senada
atau sependapat dengan M. Friedman, Sajtipto Rahardjo menyebutkan bahwa
berbicara soal hukum pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dari asas-asas
paradigma hukum yang terdiri atas fundamental hukum dan sistem hukum. Beberapa
fundamental hukum diantaranya legislasi, penegakan dan peradilan sedangkan
sistem hukum meliputi substansi, struktur dan kultur hukum. Kesemuanya itu
sangat berpengaruh terhadap efektivitas kinerja sebuah hukum.
Dari
beberapa definisi tersebut, dapat kita artikan bahwa berfungsinya sebuah hukum
merupakan pertanda bahwa hukum tersebut telah mencapai tujuan hukum, yaitu
berusaha untuk mempertahankan dan melindungi masyarakat dalam pergaulan hidup.
Tingkat efektivitas hukum juga ditentukan oleh seberapa tinggi tingkat
kepatuhan warga masyarakat terhadap aturan hukum yang telah dibuat.
Menurut
Achmad Ali jika suatu aturan hukum dapat ditaati oleh sebagian besar target
yang menjadi sasaran ketaatannya, maka dapat diartikan bahwa aturan hukum
tersebut efektif. Namun demikian meskipun sebuah aturan yang ditaati dapat
dikatakan efektif, derajat keefektivannya masih bergantung pada kepentingan
mentaatinya. Jika ketaatan masyarakat terhadap suatu aturan hukum karena
kepentingan yang bersifat compliance (takut sanksi), maka derajat ketaatannya
dinilai sangat rendah. Berbeda ketika ketaatannya berdasarkan kepentingan yang
bersifat internalization, yakni ketaatan karena aturan hukum tersebut
benar-benar cocok dengan nilai intrinsik yang dianutnya, maka derajat ketaatan
seperti inilah yang merupakan derajat ketaatan tertinggi.
A. Perdebatan Para Ahli Hukum seputar Substansi Hukum,
Struktur Hukum, dan Budaya Hukum.
Lawrence M. Friedman melihat bahwa
keberhasilan penegakan hukum selalu menyaratkan berfungsinya semua komponen
sistem hukum. Sistem hukum dalam pandangan Friedman terdiri dari tiga komponen,
yakni komponen struktur hukum (legal structure) merupakan kerangka, bagian yang
tetap bertahan, bagian yang memberikan semacam bentuk dan batasan terhadap
keseluruhan instansi-instansi penegak hukum. komponen substansi hukum (legal
substance) merupakan aturan-aturan, norma-norma dan pola prilaku nyata manusia
yang berada dalam sistem itu termasuk produk yang dihasilkan oleh orang yang
berada di dalam sistem hukum itu, mencakup keputusan yang mereka keluarkan atau
aturan baru yang mereka susun, dan komponen budaya hukum (legal culture)
merupakan gagasan-gagasan, sikap-sikap, keyakinan-keyakinan, harapan-harapan
dan pendapat tentang hukum.
Struktur
Hukum yang kemudian dikembangkan di Indonesia terdiri dari :
a. Kehakiman (Undang-undang
Nomor 4 tahun 2004 tentang Pokok-pokok kekuasaan Kehakiman)
b. Kejaksaan
(Undang-undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan)
c. Kepolisian
(Undang-undang Nomor 2 tahun 2004 tentang Kepolisian RI)
d. Advokat
(Undang-undang Nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat)
Struktur berhubungan dengan
institusi dan kelembagaan hukum, bagaimana dengan polisinya, hakimnya, jaksa
dan pengacaranya. Semua itu harus ditata dalam sebuah struktur yang sistemik.
Kalau berbicara mengenai substansinya maka berbicara tentang bagaimana
Undang-undangnya, apakah sudah perundang-undangannya.
Dalam budaya hukum, pembicaraan
difokuskan pada upaya-upaya untuk membentuk kesadaran hukum masyarakat,
membentuk pemahaman masyarakat memenuhi rasa keadilan, tidak diskriminatif,
responsif atau tidak. Jadi menata kembali materi peraturan terhadap hukum, dan
memberikan pelayanan hukum kepada masyarakat. Substansi hukum dalam wujudnya
sebagai peraturan perundang-undangan, telah diterima sebagai instrumen resmi
yang memeproleh aspirasi untuk dikembangkan, yang diorientasikan secara
pragmatis untuk menghadapi masalah-masalah sosial yang kontemporer. Hukum
dengan karakter yang demikian itu lebih dikenal dengan konsep hukum law as a tool of social engineering dari
Roscoe Pound,, atau yang di dalam terminologi Mochtar Kusumaatmadja disebutkan
sebagai hukum yang berfungsi sebagai sarana untuk membantu perubahan
masyarakat.
Pembangunan hukum merupakan suatu
tindakan politik, bukan hukum. Pembangunan hukum bukanlah pembangunan
undang-undang, apalagi jumlah dan jenis undang-undang. Pembangunan hukum pun
bukanlah hukum dalam arti positif, sebagai suatu tindakan politik, maka
pembangunan hukum sedikit banyaknya akan bergantung pada kesungguhan
aktor-aktor politik. Merekalah yang memegang kendali dalam menentukan arahnya,
begitu juga corak dan materinya. Dari para politisilah lahir berbagai macam
undang-undang.
Secara formal kelembagaan, Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) berada dijantung utama pembentukan hukum. Dari mereka
inilah ide-ide sosial, ekonomi, politik dibentuk dan atau diformulasikan secara
normatif menjadi kaedah hukum. Norma hukum hanya merupakan salah satu bagian
kecil dari kehidupan hukum.
Secondary rules yang dikonsepkan
H.A.L Hart esensinya sama yaitu nilai-nilai, orientasi dan mimpi orang tentang
hukum atau hal-hal yang berada diluar norma hukum positif model hart, memainkan
peranan yang amat menetukan bagi kapasitas hukum positif.
Walaupun norma-norma hukum yang
terdapat dalam setiap undang-undang secara positif dianggap merupakan panduan
nilai dan orientasi dari setiap orang, akan tetapi secara empiris selalu saja
ada cacat celahnya.perilaku orang selalu tidak sejalan dengan dengan
norma-norma yang ada dalam undang-undang. Penyebabnya sangat beragam, salah
satunya adalah norma-norma itu tidak sejalan dengan orientasi dan mimpi mereka.
Itu sebabnya sebagian ahli hukum mengatakan bahwa kehidupan hukum lebih
merupakan sebuah mitos, bahkan kepastian hukum dan kemanfaatan hukum hanyalah
mitos yang indah. Substansi hukum bukanlah sesuatu yang mudah direncanakan,
bahkan hal ini dapat dianggap sebagai perkara yang sulit, namun bukan karena
kesulitan itulah sehingga substansi hukum perlu direncankan, melainkan
substansi hukum juga sangat tergantung pada bidang apakah yang hendak diatur.
Perlu pula dperhatikan perkembangan sosial, ekonomi dan politik, termasuk
perkembangan-perkembangan ditingkat global yang semuanya sulit diprediksi.
Sikap politik yang paling pantas untuk diambil adalah meletakan atau menggariskan
prinsip-prinsip pengembangannya. Sebatas inilah blue printnya. Untuk itu maka
gagasan dasar yang terdapat dalam UUD 1945 itulah yang harus dijadikan
prinsip-prinsip atau parameter dalam pembentukan undang-undang apa saja,
kesetaraan antar lembaga negara, hubungan yang bersifat demokratis antara
pemerintah pusat dengan daerah, hak asasi manusia (HAM) yang meliputi hak
sosial, ekonomi, hukum, dan pembangunan harus dijadikan sumber sekaligus
parameter dalam menguji substansi RUU atau UU yang akan dibentuk.
Berkaitan dengan budaya hukum (legal
culture) ini, menurut Roger Cotterrell, konsep budaya hukum itu menjelaskan
keanekaragaman ide tentang hukum yang ada dalam berbagai masyarakat dan
posisinya dalam tatanan sosial. Ide-ide ini menjelaskan tentang praktik-praktik
hukum, sikap warga negara terhadap hukum dan kemauan dan ketidakmauannya untuk
mengajukan perkara, dan signifikansi hukum yang relatif, dalam menjelaskan
pemikiran dan perilaku yang lebih luas di luar praktik dan bentuk diskursus
khusus yang terkait dengan lembaga hukum. Dengan demikian, variasi budaya hukum
mungkin mampu menjelaskan banyak tentang perbedaan-perbedaan cara di mana
lembaga hukum yang nampak sama dapat berfungsi pada masyarakat yang berbeda.
Aspek kultural menurut Friedman
melengkapi aktualisasi suatu sistem hukum, yang menyangkut dengan nilai-nilai,
sikap, pola perilaku para warga masyarakat dan faktor nonteknis yang merupakan
pengikat sistem hukum tersebut.
Wibawa hukum melengkapi kehadiran
dari faktor-faktor non teknis dalam hukum. Wibawa hukum memperlancar bekerjanya
hukum sehingga perilaku orang menjadi positif terhadap hukum.
Wibawa hukum tidak hanya berkaitan
dengan hal-hal yang rasional, tetapi lebih dari pada itu mengandung unsur-unsur
spiritual, yaitu kepercayaan. Kewibawaan hukum dapat dirumuskan sebagai suatu
kondisi psikologis masyarakat yang menerima dan menghormati hukumnya.
Menurut Friedman budaya hukum
diterjemahkan sebagai sikap-sikap dan nilai-nilai yang berhubungan dengan hukum
dan lembaganya, baik secara positif, maupun negatif. Jika masyarakat mempunyai
nilai nilai yang positif, maka hukum akan diterima dengan baik, sebaliknya jika
negatif, masyarakat akan menentang dan menjauhi hukum dan bahkan menganggap
hukum tidak ada.membentuk undang-undang memang merupakan budaya hukum. Tetapi
mengandalakan undang-undang untuk membangun budaya hukum yang berkarakter
tunduk, patuh dan terikat pada norma hukum adalah jalan pikiran yang setengah
sesat. Budaya hukum bukanlah hukum. Budaya hukum secara konseptual adalah
soal-soal yang ada di luar hukum.
DAFTAR
PUSTAKA
Surakarta, 2004 Friedman L, Teori
dan Filsafat hukum: Telaah kritis atasi Teori-Teori Hukum (susunann I), judul
asli Legal Theory, penerjemah: Mohammad Arifin, Cetakan kedua, (Jakarta,PT Raja
Grafindo Persada 1993) Friedman Lawrence M, 1977, Law and Society An
Introduction, New Jersey: Prentice Hall Inc Kusumaatmadja, 1986, Fungsi dan
Perkem-bangan Hukum dalam Pembangunan Nasional, Bandung: Binacipta Mahfud MD,
Politik Hukum di Indonesia, Rajawali Pers.