Rabu, 18 Januari 2017

TEORI SISTEM HUKUM FRIEDMAN

Kendati para ahli hukum belum sepakat mengenai definisi ilmu hukum, akan tetapi dari berbagai pendapat yang pernah dikemukakan, dapat disimpulkan bahwa hukum mempunyai empat unsur, yakni :
1. di dalamnya termuat aturan atau ketentuan
2. bentuknya dapat tertulis dan tidak tertulis
3. aturan atau ketentuan tersebut mengatur kehidupan masyarakat, dan
4. tersedia sanksi bagi para pelanggarnya
Jika keempat unsur tersebut dirangkai, maka hukum dapat didefinisikan sebagai "semua peraturan maupun ketentuan tertulis maupun tidak tertulis yang mempunyai materi mengatur kepentingan masyarakat, dan apabila terjadi pelanggaran, maka sanksi hukum akan dikenakan pada si pelanggar".
Tujuan hukum adalah sesuatu yang ingin dicapai oleh hukum, yakni keadilan dan kepastian hukum (perlindungan hukum). Tujuan mempertahankan ketertiban masyarakat dicapai dengan cara melindungi kepentingan- kepentingan yang ada dalam masyarakat secara seimbang. Implementasi tujuan hukum tersebut dapat dilaksanakan dalam suatu negara berdasarkan atas hukum. Untuk mencapai tujuannya, hukum haruslah ditegakkan.
Dalam hal ini hukum diasumsikan sebagai hukum yang baik (walau faktanya ada juga hukum yang tidak baik). Jika kita membicarakan penegakan hukum, maka itu berarti harus membahas sistem hukum.

SISTEM HUKUM

Pengertian Sistem Hukum Sistem Hukum berasal dari dua kata yaitu „sistem‟ dan „hukum‟. Yang keduanya dapat berdiri sendiri dan memiliki arti tersendiri. Sistem berasal dari bahasa Latin systema dan bahasa Yunani systema pula, sistem dapat berarti sebagai keseluruhan atau kombinasi keseluruhan. Sedangkan hukum tidak dapat diartikan secara pasti seperti halnya ilmu eksak, karena dalam ilmu hukum, hukum itu sangat kompleks dan terdapat berbagai sudut pandang serta berbeda-beda pula masalah yang akan dikaji. Sehingga, setiap ahli memberikan pengertian-pengertian yang berbeda mengenai pengertian hukum sendiri. Berikut diantaranya : Hukum adalah semua aturan yang mengandung pertimbangan kesusilaan, ditujukan kepada tingkah laku manusia dalam masyarakat, dan menjadi pedoman bagi penguasa negara dalam melaksanakan tugasnya.
·         ( Prof. Mr. E.M. Meyers) Hukum adalah himpunan peraturan ( perintah dan larangan ) yang mengurus tata tertib suatu masyarakat dan karena itu harus ditaati oleh masyarakat itu.
·         ( Drs. E. Utrecht, S.H) Hukum merupakan kumpulan peraturan yang terdiri dari norma dan sanksi, dengan tujuan mewujudkan ketertiban dalam pergaulan manusia.
·         (S.M. Amin, S.H) Hukum adalah peratuan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat, yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib, dan yang pelanggaran terhadapnya mengakibatkan diambilnya tindakan, yaitu hukuman terentu.
·         ( J.C.T. Simorangkir, S.H. dan Woerjono Sastropranoto, S.H) Dari berbagai pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa hukum merupakan peraturan yang bersifat memaksa dan mengikat seseorang agar tercipta kehidupan yang serasi dan selaras dengan norma yang berlaku di masyarakat. Sehingga, sistem hukum dapat diartikan sebagai sekumpulan peraturan yang bersifat memaksa demi terciptanya kehidupan yang serasi dan selaras dengan norma.
Bangsa Indonesia Menggunakan Sistem Hukum Campuran yaitu Bangsa Indonesia menggunakan sistem hukum campuran antara Eropa Kontinental, Hukum Adat, Hukum Agama khususnya Hukum Syariah Islam, serta tidak mengesampingkan sistem hukum Anglo-Saxon.
Saat pertama mendengar istilah Hukum Eropa Kontinental yang ada dipikiran kita pasti adalah negara-negara yang terletak di Benua Eropa. Namun, ternyata meski berada dalam Benua Asia, Bangsa Indonesia juga menganut sistem hukum Eropa Kontinental sebagai salah satu sistem hukumnya. Hal tersebut terjadi dikarenakan Bangsa Indonesia mengalami penjajahan oleh Belanda selama 350 tahun yang tidak lain Belanda merupakan salah satu pendukung utama sistem hukum Eropa Kontinental.
Dan selama masa penjajahan tersebut Belanda menerapkan asas konkordansi, yang berarti sistem hukum Hindia-Belanda (Indonesia) berjalan selaras dengan sistem hukum Belanda. Sehingga, secara mutatis mutandis sistem hukum Eropa Kontinental telah diterapkan kepada Bangsa Indonesia.
 Walaupun dominan menggunakan sistem hukum Eropa Kontinental, Belanda juga melaksanakan sistem hukum adat (adatrechtpolitiek) kepada masyarakat golongan pribumi asli. Sehingga, pada masa penjajahan Belanda di Indonesia terjadi pluralisme hukum. Yang dalam perkembangannya lebih banyak ditinggalkan karena pengaruh hukum kolonial yang cenderung kuat. Setelah kemerdekaan, pengaruh Sistem Eropah Kontinental tampak dalam semangat untuk melakukan kodifikasi dan unifikasi. Meskipun Hukum Adat tetap diakui, tetapi pandangan yang lebih mengemuka adalah dalam pembangunan hukum maupun optimalisasi fungsi hukum sebagai sarana untuk melakukan rekayasa sosial dilakukan melalui peraturan perundangundangan.
Pembangunan Sistem Hukum Indonesia Menurut Lawrence M.Friedman Sistem hukum di Indonesia dewasa ini adalah sistem hukum yang unik, sistem hukum yang dibangun dari proses penemuan, pengembangan, adaptasi, bahkan kompromi dari beberapa sistem yang telah ada.
Sistem hukum Indonesia tidak hanya mengedepankan ciri-ciri lokal, tetapi juga mengakomodasi prinsip-prinsip umum yang dianut oleh masyarakat internasional. Namun, pada masa-masa seperti sekarang ini banyak kalangan yang memberikan penilaian yang kurang baik terhadap sistem hukum Indonesia.
Bobroknya sistem hukum di Indonesia, diibaratkan orang sakit akibat merokok. Jika dianalogikan, orang sakit karena merokok justru tidak pernah mau mengakui jika sakitnya karena rokok. “Kalau perokok, datang ke dokter, akan selalu bilang, saya sakit. Tapi pasti tidak mau mengaku karena rokok, karena ingin tetap merokok,” kata Guru Besar Luar Biasa UI, Mardjono Reksodiputra dalam diskusi hukum di kantor Komisi Hukum Nasional (KHN), Jalan Diponegoro 64, Menteng, Jakarta Pusat, Senin, (7/5/2010). Analogi tersebut sebagai perumpamaan kepada institusi polisi, jaksa dan hakim yang tidak pernah mengakui institusinya salah. Setiap kali ada kasus, mereka selalu menunjuk itu ulah oknum. “Harusnya mereka mengakui supaya tidak mengulangi. Jangan seperti perokok yang tidak mau mengaku merokok,” (detiknews, 2010)
Untuk mengetahui lebih mendalam lagi, kita perlu mempelajari apa yang menjadi unsur-unsur pokok sistem hukum itu. Para ahli memiliki pendapat sendiri-sendiri mengenai sistem hukum. Namun, pada kesempatan kali ini kita akan lebih terfokus pada sistem hukum menurut Lawrence M.Friedman.



TEORI SISTEM HUKUM FRIEDMAN

Teori Sistem Hukum Menurut Lawrence Meir Friedman, seorang ahli sosiologi hukum dari Stanford University, ada empat elemen utama dari sistem hukum (legal system), yaitu:
1.      Struktur Hukum (Legal Structure)
2.      Isi Hukum (Legal Substance)
3.      Budaya Hukum (Legal Culture)
4.      Dampak Hukum (Legal Impact)
Menurut Lawrence Meir Friedman berhasil atau tidaknya Penegakan hukum bergantung pada: Substansi Hukum, Struktur Hukum/Pranata Hukum dan Budaya Hukum.
Pertama: Substansi Hukum: Dalam teori Lawrence Meir Friedman hal ini disebut sebagai sistem substansial yang menentukan bisa atau tidaknya hukum itu dilaksanakan. Substansi juga berarti produk yang dihasilkan oleh orang yang berada dalam sistem hukum yang mencakup keputusan yang mereka keluarkan, aturan baru yang mereka susun.
Substansi juga mencakup hukum yang hidup (living law), bukan hanya aturan yang ada dalam kitab undang-undang (law books). Sebagai negara yang masih menganut sistem Civil Law Sistem atau sistem Eropa Kontinental (meski sebagaian peraturan perundang-undangan juga telah menganut Common Law Sistem atau Anglo Sexon) dikatakan hukum adalah peraturan-peraturan yang tertulis sedangkan peraturan-peraturan yang tidak tertulis bukan dinyatakan hukum. Sistem ini mempengaruhi sistem hukum di Indonesia. Salah satu pengaruhnya adalah adanya asas Legalitas dalam KUHP. Dalam Pasal 1 KUHP ditentukan “tidak ada suatu perbuatan pidana yang dapat di hukum jika tidak ada aturan yang mengaturnya”. Sehingga bisa atau tidaknya suatu perbuatan dikenakan sanksi hukum apabila perbuatan tersebut telah mendapatkan pengaturannya dalam peraturan perundang-undangan.
Teori Lawrence Meir Friedman yang Kedua : Struktur Hukum/Pranata Hukum: Dalam teori Lawrence Meir Friedman hal ini disebut sebagai sistem Struktural yang menentukan bisa atau tidaknya hukum itu dilaksanakan dengan baik. Struktur hukum berdasarkan UU No. 8 Tahun 1981 meliputi; mulai dari Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Badan Pelaksana Pidana (Lapas). Kewenangan lembaga penegak hukum dijamin oleh undang-undang. Sehingga dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh-pengaruh lain. Terdapat adagium yang menyatakan “fiat justitia et pereat mundus”meskipun dunia ini runtuh hukum harus ditegakkan. Hukum tidak dapat berjalan atau tegak bila tidak ada aparat penegak hukum yang kredibilitas, kompeten dan independen. Seberapa bagusnya suatu peraturan perundang-undangan bila tidak didukung dengan aparat penegak hukum yang baik maka keadilan hanya angan-angan. Lemahnya mentalitas aparat penegak hukum mengakibatkan penegakkan hukum tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Banyak faktor yang mempengaruhi lemahnya mentalitas aparat penegak hukum diantaranya lemahnya pemahaman agama, ekonomi, proses rekruitmen yang tidak transparan dan lain sebagainya. Sehingga dapat dipertegas bahwa faktor penegak hukum memainkan peran penting dalam memfingsikan hukum. Kalau peraturan sudah baik, tetapi kualitas penegak hukum rendah maka akan ada masalah. Demikian juga, apabila peraturannya buruk sedangkan kualitas penegak hukum baik, kemungkinan munculnya masalah masih terbuka.
Teori Lawrence Meir Friedman yang Ketiga: Budaya Hukum: Kultur hukum menurut Lawrence Meir Friedman (2001:8) adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum-kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya. Kultur hukum adalah suasana pemikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari, atau disalahgunakan. Budaya hukum erat kaitannya dengan kesadaran hukum masyarakat. Semakin tinggi kesadaran hukum masyarakat maka akan tercipta budaya hukum yang baik dan dapat merubah pola pikir masyarakat mengenai hukum selama ini. Secara sederhana, tingkat kepatuhan masyarakat terhadap hukum merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum. Hubungan antara tiga unsur sistem hukum itu sendiri tak berdaya, seperti pekerjaan mekanik. Struktur diibaratkan seperti mesin, substansi adalah apa yang dikerjakan dan dihasilkan oleh mesin, sedangkan kultur hukum adalah apa saja atau siapa saja yang memutuskan untuk menghidupkan dan mematikan mesin itu, serta memutuskan bagaimana mesin itu digunakan.
Dikaitkan dengan sistem hukum di Indonesia, Teori Friedman tersebut dapat kita jadikan patokan dalam mengukur proses penegakan hukum di Indonesia. Polisi adalah bagian dari struktur bersama dengan organ jaksa, hakim, advokat, dan lembaga permasyarakatan. Interaksi antar komponen pengabdi hukum ini menentukan kokoh nya struktur hukum. Walau demikian, tegaknya hukum tidak hanya ditentukan oleh kokohnya struktur, tetapi juga terkait dengan kultur hukum di dalam masyarakat. Namun demikian, hingga kini ketiga unsur sebagaimana yang dikatakan oleh Friedman belum dapat terlaksana dengan baik, khususnya dalam struktur hukum dan budaya hukum. Sebagai contoh, dalam struktur hukum, Anggota polisi yang diharapkan menjadi penangkap narkoba, polisi sendiri ikut terlibat dalam jaringan narkoba. Demikian halnya para jaksa, sampai saat ini masih sangat sulit mencari jaksa yang benar-benar jujur dalam menyelesaikan perkara. Senada atau sependapat dengan M. Friedman, Sajtipto Rahardjo menyebutkan bahwa berbicara soal hukum pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dari asas-asas paradigma hukum yang terdiri atas fundamental hukum dan sistem hukum. Beberapa fundamental hukum diantaranya legislasi, penegakan dan peradilan sedangkan sistem hukum meliputi substansi, struktur dan kultur hukum. Kesemuanya itu sangat berpengaruh terhadap efektivitas kinerja sebuah hukum.
Dari beberapa definisi tersebut, dapat kita artikan bahwa berfungsinya sebuah hukum merupakan pertanda bahwa hukum tersebut telah mencapai tujuan hukum, yaitu berusaha untuk mempertahankan dan melindungi masyarakat dalam pergaulan hidup. Tingkat efektivitas hukum juga ditentukan oleh seberapa tinggi tingkat kepatuhan warga masyarakat terhadap aturan hukum yang telah dibuat.
Menurut Achmad Ali jika suatu aturan hukum dapat ditaati oleh sebagian besar target yang menjadi sasaran ketaatannya, maka dapat diartikan bahwa aturan hukum tersebut efektif. Namun demikian meskipun sebuah aturan yang ditaati dapat dikatakan efektif, derajat keefektivannya masih bergantung pada kepentingan mentaatinya. Jika ketaatan masyarakat terhadap suatu aturan hukum karena kepentingan yang bersifat compliance (takut sanksi), maka derajat ketaatannya dinilai sangat rendah. Berbeda ketika ketaatannya berdasarkan kepentingan yang bersifat internalization, yakni ketaatan karena aturan hukum tersebut benar-benar cocok dengan nilai intrinsik yang dianutnya, maka derajat ketaatan seperti inilah yang merupakan derajat ketaatan tertinggi.

A. Perdebatan Para Ahli Hukum seputar Substansi Hukum, Struktur Hukum, dan Budaya Hukum.
 Lawrence M. Friedman melihat bahwa keberhasilan penegakan hukum selalu menyaratkan berfungsinya semua komponen sistem hukum. Sistem hukum dalam pandangan Friedman terdiri dari tiga komponen, yakni komponen struktur hukum (legal structure) merupakan kerangka, bagian yang tetap bertahan, bagian yang memberikan semacam bentuk dan batasan terhadap keseluruhan instansi-instansi penegak hukum. komponen substansi hukum (legal substance) merupakan aturan-aturan, norma-norma dan pola prilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu termasuk produk yang dihasilkan oleh orang yang berada di dalam sistem hukum itu, mencakup keputusan yang mereka keluarkan atau aturan baru yang mereka susun, dan komponen budaya hukum (legal culture) merupakan gagasan-gagasan, sikap-sikap, keyakinan-keyakinan, harapan-harapan dan pendapat tentang hukum.
Struktur Hukum yang kemudian dikembangkan di Indonesia terdiri dari :
a.       Kehakiman (Undang-undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Pokok-pokok kekuasaan Kehakiman)
b.      Kejaksaan (Undang-undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan)
c.       Kepolisian (Undang-undang Nomor 2 tahun 2004 tentang Kepolisian RI)
d.      Advokat (Undang-undang Nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat)
            Struktur berhubungan dengan institusi dan kelembagaan hukum, bagaimana dengan polisinya, hakimnya, jaksa dan pengacaranya. Semua itu harus ditata dalam sebuah struktur yang sistemik. Kalau berbicara mengenai substansinya maka berbicara tentang bagaimana Undang-undangnya, apakah sudah perundang-undangannya.
            Dalam budaya hukum, pembicaraan difokuskan pada upaya-upaya untuk membentuk kesadaran hukum masyarakat, membentuk pemahaman masyarakat memenuhi rasa keadilan, tidak diskriminatif, responsif atau tidak. Jadi menata kembali materi peraturan terhadap hukum, dan memberikan pelayanan hukum kepada masyarakat. Substansi hukum dalam wujudnya sebagai peraturan perundang-undangan, telah diterima sebagai instrumen resmi yang memeproleh aspirasi untuk dikembangkan, yang diorientasikan secara pragmatis untuk menghadapi masalah-masalah sosial yang kontemporer. Hukum dengan karakter yang demikian itu lebih dikenal dengan konsep hukum law as a tool of social engineering dari Roscoe Pound,, atau yang di dalam terminologi Mochtar Kusumaatmadja disebutkan sebagai hukum yang berfungsi sebagai sarana untuk membantu perubahan masyarakat.
            Pembangunan hukum merupakan suatu tindakan politik, bukan hukum. Pembangunan hukum bukanlah pembangunan undang-undang, apalagi jumlah dan jenis undang-undang. Pembangunan hukum pun bukanlah hukum dalam arti positif, sebagai suatu tindakan politik, maka pembangunan hukum sedikit banyaknya akan bergantung pada kesungguhan aktor-aktor politik. Merekalah yang memegang kendali dalam menentukan arahnya, begitu juga corak dan materinya. Dari para politisilah lahir berbagai macam undang-undang.
            Secara formal kelembagaan, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berada dijantung utama pembentukan hukum. Dari mereka inilah ide-ide sosial, ekonomi, politik dibentuk dan atau diformulasikan secara normatif menjadi kaedah hukum. Norma hukum hanya merupakan salah satu bagian kecil dari kehidupan hukum.
            Secondary rules yang dikonsepkan H.A.L Hart esensinya sama yaitu nilai-nilai, orientasi dan mimpi orang tentang hukum atau hal-hal yang berada diluar norma hukum positif model hart, memainkan peranan yang amat menetukan bagi kapasitas hukum positif.
            Walaupun norma-norma hukum yang terdapat dalam setiap undang-undang secara positif dianggap merupakan panduan nilai dan orientasi dari setiap orang, akan tetapi secara empiris selalu saja ada cacat celahnya.perilaku orang selalu tidak sejalan dengan dengan norma-norma yang ada dalam undang-undang. Penyebabnya sangat beragam, salah satunya adalah norma-norma itu tidak sejalan dengan orientasi dan mimpi mereka. Itu sebabnya sebagian ahli hukum mengatakan bahwa kehidupan hukum lebih merupakan sebuah mitos, bahkan kepastian hukum dan kemanfaatan hukum hanyalah mitos yang indah. Substansi hukum bukanlah sesuatu yang mudah direncanakan, bahkan hal ini dapat dianggap sebagai perkara yang sulit, namun bukan karena kesulitan itulah sehingga substansi hukum perlu direncankan, melainkan substansi hukum juga sangat tergantung pada bidang apakah yang hendak diatur. Perlu pula dperhatikan perkembangan sosial, ekonomi dan politik, termasuk perkembangan-perkembangan ditingkat global yang semuanya sulit diprediksi. Sikap politik yang paling pantas untuk diambil adalah meletakan atau menggariskan prinsip-prinsip pengembangannya. Sebatas inilah blue printnya. Untuk itu maka gagasan dasar yang terdapat dalam UUD 1945 itulah yang harus dijadikan prinsip-prinsip atau parameter dalam pembentukan undang-undang apa saja, kesetaraan antar lembaga negara, hubungan yang bersifat demokratis antara pemerintah pusat dengan daerah, hak asasi manusia (HAM) yang meliputi hak sosial, ekonomi, hukum, dan pembangunan harus dijadikan sumber sekaligus parameter dalam menguji substansi RUU atau UU yang akan dibentuk.
            Berkaitan dengan budaya hukum (legal culture) ini, menurut Roger Cotterrell, konsep budaya hukum itu menjelaskan keanekaragaman ide tentang hukum yang ada dalam berbagai masyarakat dan posisinya dalam tatanan sosial. Ide-ide ini menjelaskan tentang praktik-praktik hukum, sikap warga negara terhadap hukum dan kemauan dan ketidakmauannya untuk mengajukan perkara, dan signifikansi hukum yang relatif, dalam menjelaskan pemikiran dan perilaku yang lebih luas di luar praktik dan bentuk diskursus khusus yang terkait dengan lembaga hukum. Dengan demikian, variasi budaya hukum mungkin mampu menjelaskan banyak tentang perbedaan-perbedaan cara di mana lembaga hukum yang nampak sama dapat berfungsi pada masyarakat yang berbeda.
            Aspek kultural menurut Friedman melengkapi aktualisasi suatu sistem hukum, yang menyangkut dengan nilai-nilai, sikap, pola perilaku para warga masyarakat dan faktor nonteknis yang merupakan pengikat sistem hukum tersebut.
            Wibawa hukum melengkapi kehadiran dari faktor-faktor non teknis dalam hukum. Wibawa hukum memperlancar bekerjanya hukum sehingga perilaku orang menjadi positif terhadap hukum.
            Wibawa hukum tidak hanya berkaitan dengan hal-hal yang rasional, tetapi lebih dari pada itu mengandung unsur-unsur spiritual, yaitu kepercayaan. Kewibawaan hukum dapat dirumuskan sebagai suatu kondisi psikologis masyarakat yang menerima dan menghormati hukumnya.
            Menurut Friedman budaya hukum diterjemahkan sebagai sikap-sikap dan nilai-nilai yang berhubungan dengan hukum dan lembaganya, baik secara positif, maupun negatif. Jika masyarakat mempunyai nilai nilai yang positif, maka hukum akan diterima dengan baik, sebaliknya jika negatif, masyarakat akan menentang dan menjauhi hukum dan bahkan menganggap hukum tidak ada.membentuk undang-undang memang merupakan budaya hukum. Tetapi mengandalakan undang-undang untuk membangun budaya hukum yang berkarakter tunduk, patuh dan terikat pada norma hukum adalah jalan pikiran yang setengah sesat. Budaya hukum bukanlah hukum. Budaya hukum secara konseptual adalah soal-soal yang ada di luar hukum.








DAFTAR PUSTAKA

Surakarta, 2004 Friedman L, Teori dan Filsafat hukum: Telaah kritis atasi Teori-Teori Hukum (susunann I), judul asli Legal Theory, penerjemah: Mohammad Arifin, Cetakan kedua, (Jakarta,PT Raja Grafindo Persada 1993) Friedman Lawrence M, 1977, Law and Society An Introduction, New Jersey: Prentice Hall Inc Kusumaatmadja, 1986, Fungsi dan Perkem-bangan Hukum dalam Pembangunan Nasional, Bandung: Binacipta Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Rajawali Pers.

1 komentar:

  1. Slottyro - Casino, Slottyro, Slottyro, Casino, Slottyro, Casino, Slottyro, Slots
    Slottyro - Casino, 제천 출장샵 Slottyro, Slottyro, Casino, Slottyro, Slottyro, Casino, Slottyro, 사천 출장샵 Slottyro, 남원 출장마사지 Casino, Slottyro, Slottyro, Slottyro, Casino, 김해 출장샵 Slottyro, 여수 출장샵 Slottyro,  Rating: 4 · ‎7 reviews

    BalasHapus